Bonsai yang indah atau bagus itu yang bagaimana? Pertanyaan sederhana ini cukup panjang jawabannya. Namun secara garis besar dapat dikatakan, bahwa bagaimanapun bentuk bonsai, harus mengikuti hukum alam. Itulah sebetulnya yang dimaksudkan bahwa pecinta bonsai itu harus paham ilmu botani.
Hal itu dikatakan Robert Steven, seniman bonsai internasional yang sengaja hadir di Sidoarjo beberapa waktu yang lalu (15/12) dalam acara Forum Diskusi Seni Bonsai Indonesia (FDSBI) bekerjasama dengan Persatuan Penggemar Bonsai Indonesia (PPBI) Cabang Sidoarjo. Diskusi yang berlangsung di kebun Sulistyosidhi di Gedangan, itu dihadiri oleh hampir 200 penggemar bonsai dari Surabaya, Malang, Probolinggo, Lumajang, Bangkalan, Pamekasan, Ponorogo, Trenggalek, Tulungagung, bahkan meluas hingga Blora dan Wonogiri.
Mengapa bonsai yang bagus harus tetap mengacu pada hukum alam? Dijawab sendiri oleh Robert, bahwsanya semua gaya pohon di alam pasti punya alasan tersendiri mengapa sampai memiliki bentuk tertentu. Ironisnya, bagi penggemar bonsai justri banyak yang memberikan alasan terhadap gaya tertentu dan dari bonsainya, dan bukan menjelaskan estetikanya.
Pada dasarnya, bentuk atau gaya pohon di alam tergantung dari:
Pertama, spesiesnya sendiri. Pohon kapuk misalnya, punya gaya sendiri yang beda dengan beringin, akasia atau asem misalnya. Itu sebabnya morfologi setiap jenis pohon harus dikuasai oleh penggemar bonsai.
Kedua, kondisi dimana pohon itu tumbuh. Hukum alam mengatakan, bahwa akar cenderung menjulur mencari air, daun mencari sinar matahari, sehingga dapat mempengaruhi bentuk pohon. Habitat pohon yang tumbuh di batu, tebing, sungai, pantai dan sebagainya, secara alami akan menentukan gayanya sendiri, meskipun dari jenis pohonnya sama.
Ketiga, atmosferi effect, yaitu pengaruh iklim, gangguan alam dan sebagainya. Misalnya angin bertiup terus menerus seperti di Capetown, Afrika, misalnya, maka nyaris semua bentuk pohonnya cenderung bergaya windswept. Atau kalau pohon di alam itu sering ditebang manusia, disambar petir atau mendapatkan gangguan alam yang lain. Seperti misalnya pinus di Quanshan, dataran tinggi bersalju, memiliki bentuk yang berbeda dengan jenis pinus yang sama namum tumbuh di dataran yang berbeda.
Jadi, bonsai dapat disebut indah manakala mengandung tiga syarat:
Syarat pertama, indah secara estetika. Ini memang relatif, banyak teori yang menerangkan tentang keindahan. Meskipun, sebagai karya seni ada yang berpendapat tidak harus indah. Yang penting maknanya. Hanya saja, untuk bonsai tetap harus ada syarat indah. Ini syarat minimal. Apa yang disebut dalam literatur bisa saja memang benar namun belum tentu betul.
Syarat kedua, bonsai itu bisa bercerita sendiri dimana habitat tumbuhnya. Bahwa pohon yang tumbuh di tebing, tentu berbeda dengan yang tumbuh di pantai. Hanya dengan melihat bentuk atau gaya bonsai, kita sudah bisa memperkirakan kira-kira habitat seperti apa yang menjadi tempat tumbuh pohon yang dibonsaikan itu.
Syarat ketiga, karena bonsai adalah karya seni, maka arus ada pesan atau makna yang ingin disampaikan oleh senimannya. Kita tentunya ingin mengatakan sesuatu kepada peniikmat, kira-kira makna atau pesan apa yang hendak dikatakan dengan membuat bentuk atau gaya bonsai tersebut.
Syarat pertama, mengenai keindahan, merupakan syarat minimal yang harus dipenuhi untuk dapat disebut sebagai bonsai yang indah. Tanpa memenuhi dua syarat yang lainnya, itu saja sudah cukup. Tapi kalau ketiga syarat itu dapat dipenuhi, tentu akan lebih bagus. Bonsai dapat diisebut indah kalau ketiga syarat itu bisa terintegrasi sehingga secara keseluruhan bonsai bisa bicara.
Pada dasarnya, pohon dapat tumbuh baik di alam manakala tersedia air, sinar matahari dan ruang. Karena itu tak ada cabang bersilang-silangan karena pertumbuhan cabang selalu mencari arah sinar matahari.
Sudah merupakan hukum alam, manakala terjadi terpaan angin atau pasir secara luar biasa, maka terjadi pengeringan pada sebagian pohon. Kering pada pohon adalah sebuah kerusakan, namun bisa menjadi indah kalau mampu ditampilkan secara tepat. Ini memang ada instrumennya sendiri. Bonsai gaya Kimura yang banyak menampilkan keringan misalnya, itu merupakan cerminan Unipers yang tumbuh di alam. Itu sebabnya bonsai Unipers Taiwan, cenderung memiliki batang atau cabang yang berpelintir, sebagaimana di alam aslinya di sana.
Kelapa itu Bonsai?
Dalam sesi tanya jawab, dialog berlangsung hangat. Misalnya ada pertanyaan, adakah syarat tertentu dari jenis pohon agar dapat disebut bonsai. Pohon kelapa misalnya, apa bisa dibuat bonsai. Demikian pula adenium, juga dapat dikreasi sedemikian rupa sehingga memiliki syarat bonsai, apa bisa disebut bonsai?
Menurut Robert, tidak semua tanaman (dari jenis apapun) dalam pot dapat disebut bonsai. Kalau tanaman belum dibentuk, meski ada di pot, maka belum bisa disebut bonsai. Karena yang disebut bonsai itu bukan menjiplak bentuk pohon di alam apa adanya, tetapi ada campurtangan manusia untuk menjadikan indah.
Kelapa, tak dapat disebut bonsai, karena ada peraturan tak tertulis, bahwa bonsai harus berbatang keras, memiliki struktur cabang dan ranting, serta mampu menampilkan kesan tua. Sedangkan adenium, itu jenis sukulen, bukan termasuk bonsai. Meski secara proporsional dapat juga memiliki bentuk seperti bonsai.
Kalau ada bonsai keringan kemudian diukir menyerupai bentuk naga misalnya, apakah hal itu masih dibolehkan? “Itu bukan bonsai, tapi handycraft biasa,” jelas Robert. Karena bonsai tidak boleh menunjukkan bekas-bekas campurtangan manusia yang tidak ada di alam.
Sulistyanto Soejoso berpendapat, pesan saja tidak cukup, tapi kesan. Bonsai keringan, mustahil daunnya rimbun. Karena itu bonsai Indonesia akan digemari orang-orang gurun pasir, yang menyukai kerimbunan. Secara naluriah, mereka menyukai hal-hal yang menyejukkan. Misalnya, seragam sepakbola negara-negara Timur Tengah cenderung mengandung warna hijau.
Karena itu, kata Sulis, dengan menentukan gaya bonsai, bisa jadi akan menjadi potensi untuk menciptakan gaya bonsai khas Indonesia. Misalnya, tradisi karapan sapi, bisa ditiru menjadi gaya bonsai yang kemudian diberi judul Karapan Sapi.
Berkaitan dengan keindahan, Wahjudi D. Soetomo menyampaikan pendapatnya. Bahwa keindahan itu ada dua hal. Yaitu keindahan subyektif dan keindahan obyektif. Disebut subyektif karena memang tidak bisa dikomunikasikan dengan banyak orang. Tidak bisa didiskusikan. Sedangkan keindahan obyektif itu pijakannya jelas, yaitu ilmu pengetahuan yang bersifat universal. Keindahan obyektif dapat dipelajari setiap orang dan dapat dikomunikasikan. Bukankah sejak kita di bangku sekolah sudah dikenalkan apa itu keindahan?
Robert tak menolak pandangan tersebut. Hanya saja, dia hanya mencoba menyampaikan analogi yang gampang dicerna untuk memahami bagaimana seni bonsai. Diperlukan semacam tips dasar yang logis sehingga mudah dipahami. Misalnya saja, bagaimana mendesain bahan untuk dapat dibuat menjadi bonsai? Sebut saja Wahong, memiliki bentuk yang dramatis, sehingga seringkali kita bingung sendiri mau dijadikan apa.
Wahong laut memang termasuk jenis pohon yang sulit didesain. Untuk itu, kata Robert, ketika kita mendapatkan bahan dari alam, perlu diasumsikan bahwa dulunya seperti pohon besar yang sempurna. Kemudian karena banyak hal, misalnya ditebang, dipotong, mengalami gangguan alam dan sebagainya, sehingga menjadi bentuk sebagaimana yang diambil sebagai bakalan. Artinya, ada proses transformasi untuk menjadikan sebuah bonsai.
Bagian Depannya Mana?
Salah satu kelemahan yang sering terjadi, banyak yang salah paham dengan yang dimaksud ”depan” dari bonsai. Kita selalu menganggap ”depan” menurut pengertian kita. Akibatnya, kita kurang memperhatikan sudut pandang tertentu yang diinginkan.
Misalnya, yang disebut gaya itu apa? Gaya adalah pose atau gerakan sebuah pohon. Sesungguhnya membuat gaya bonsai itu tidak sulit. Waktu membuat suatu gaya harus memperhitungkan secara keseluruhan membentuk suatu nuansa apa tidak? Membuat gerakan pohon ibarat membuat pose tubuh kita sendiri. Ada suatu titik gaya berat sehingga secara keseluruhan gampang dilihat. Asal balance, itu saja sudah bagus.
Bahwa yang dimaksud ”depan” dalam bonsai itu bukan ”depan” sebagaimana pengertian kita. Tetapi suatu sudut pandang tertentu yang kita tentukan sehingga bonsai itu mampu menyampaikan sesuatu.
Misalnya foto-foto majalah Playboy, tidak pernah ada foto yang tampil frontal menunjukkan bagian depan tubuhnya. Pasti ada sesuatu gaya yang dibuat sedemikian rupa sehingga tercipta bagian ”depan” ketika kita memandangnya sebagai pose yang indah. Tidak harus terekspose semua bagian secara anatomi. Jadi, carilah bagian bonsai yang mana dari bonsai yang kita punya sehingga menjadi nampak indah.
Soal kelapa dan adenium, Sulis punya pendapat sendiri, bahwa itu bisa bisa saja disebut. Bonsai. Hanya saja dalam kontes tak bisa dikelompokkan dalam kelas tertentu. ”Janganlah bonsai itu dibuat terlalu eksklusif, nanti orang takut. Tapi juga jangan terlalu rendah. Itu soal kesepakatan,” tegasnya
Dalam pemahaman sederhana, kata Sulis, yang disebut bonsai itu adalah miniatur pohon di alam, kemudian ditambahi pot sehingga menjadi bonsai. Dalam pengertian awam, pot sering hanya dipahami secara konvensional. Padahal dalam alam ada beringin bisa hidup nempel di tembok. Maka dalam hal ini dinding itu adalah pot. Bonsai sebagai karya seni memungkinkan imajinasi tak terbatas.
Pengertian pot jangan distandarkan. Ada pohon yang dapat hidup dengan media sangat minim dengan pot seadanya. Bahkan tanpa media tanah. Perkara menang atau tidak dalam kontes, itu soal lain. Yang penting keberania eksperimen dan mengembangkan imajinasi.
”Ya, betul Pak Sulis, karena itu saya tidak pernah pakai istilah pot, tapi wadah,” tutup Robert. –henri nurcahyoSumber : bonsaisidoarjo.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar